Lapar mata versus lapar perut

Kemarin, 9 September 2017, saya mengikuti Monash University Doctoral Program Information Day di Hotel Fairmont, Jakarta. Saat lunch break saya memutuskan sholat dahulu karena waktu lunch break hanya 30 menit. Dengan dua lajur antrian dan peserta yang banyak saya pikir akan memakan waktu lama sehingga lebih efektif jika saya sholat dahulu dan mengantri ketika sudah sepi.

Ketika selesai sholat ternyata hidangan makan siang sudah habis. Saya pun mencari-cari menu yang tersisisa. Akhirnya dapat lah beberapa jenis buah dan dessert. Masih beruntung setelah buah dan dessert disantap ada sup asparagus tersisa.

Yang menyedihkan ketika saya berkeliling mencari-cari makanan yang masih tersisa, banyak piring teronggok dengan sisa-sisa makanan yang tidak termakan. Bahkan beberapa diantaranya adalah potongan lauk-pauk yang nilainya lebih berharga dibanding butiran nasi. Padahal sebutir nasi pun tidak boleh kita sia-siakan.

Inilah kebiasaan buruk orang Indonesia. Suka menyia-nyiakan dan tidak menghabiskan makanan yang ia ambil. Matanya selalu lebih lapar dibanding perutnya. Artinya porsi makanan yang diambil selalu lebih banyak daripada daya tampung perutnya karena menuruti mata(nafsu)nya.

monash university doctoral program information day

Selama ini yang selalu saya lihat adalah di jamuan makan pada acara-acara perkawinan dimana tamunya sangat beragam. Nahh ini, yang makan adalah calon-calon doktor dan master, orang-orang terdidik. Ternyata mentalnya sama saja dengan orang-orang awam dan kebanyakan. Boros!

Leave a comment